Doaku : Semoga Kamulah Orang Itu
Aku membayangkan sepetak ruang tempat kita bisa menua bersama. Berbagi bantal, saling mendekat ketika hari menyisakan banyak kisah yang bisa dibagikan. Atau ketika kau dan aku hanya ingin punya rekan untuk mengutuk keadaan.
Semakin dewasa, akan lebih banyak masalah yang kita hadapi bersama. Senyum penuh pemahaman lebih sering tersungging di muka. Hidup ternyata bukan cuma soal kencan manis atau saling bertukar kata sayang saja. Saat masa itu tiba — tak ada lagi yang lebih kuinginkan di dunia.
Aku berdoa, semoga wajah bangun tidurmu yang tertangkap mata. Dan ketika kuselipkan tangan di bawah bantal kita — jemari dan lengamulah yang kutemukan di sana.
Berjanjilah, suatu hari akan kita rayakan wajah bangun tidur dengan kecupan. Aroma khas pagi kita sesap lewat peluk-peluk panjang
Pagi yang biasa. Kaki saling menyilang, selimut membentang di antara badan, tangan yang saling merengkuh pinggang jadi tesis dari kenyamanan. Sesekali akan kutemukan dengkuran halusmu di tengkukku, tempatmu biasa meletakkan kepala setelah dihajar kerasnya dunia. Sekuat tenaga kutahan diri agar tak banyak bergerak. Tidur pulasmu selayak titah pandita raja yang harus dijaga sedemikian rupa.
Kuharap hari itu segera tiba. Ketika kau dan aku tak perlu lagi rikuh berbagi ranjang berdua.
Kita akan sama-sama terkikik memandang wajah masing-masing yang tercetak kerut bantal setelah tidur miring semalaman. Rambutmu berdiri liar ke kanan-kiri, mukaku masih kesat dari sisa krim malam yang belum meresap sepenuhnya hingga pagi.
Tapi ini namanya cinta, barangkali. Tak peduli seaneh apapun muka bangun pagi kita, kecup sayang akan tetap tersedia. Kusapukan cium hangat di sepanjang garis rahangmu, kau balas kecupan itu dengan sapuan manis di leher dan tengkukku. Peluk dan cium sayang membangkitkan semangat kita demi menghadapi hari baru.
Hidup jelas tak langsung mudah hanya karena kita sudah berdua. Tapi rasa lemah sebab merasa sendiri pasti tak lagi ada
Hanya karena sudah ganda campuran bukan berarti hidup tak lagi butuh perjuangan. Kau dan aku masih terus harus memutar otak untuk melakukan penghematan, supaya kemewahan tontonan lewat TV kabel masih bisa dinikmati setiap bulan. Masalah rumah tangga macam harga gas yang melambung dan biaya listrik yang terus meningkat juga tidak akan hilang begitu saja.
Berdua, kita tetap harus bekerja lebih dari 8 jam tiap harinya. Keluar kantor jam 5, masih memelototi tablet dan smartphone demi menjawab e-mail yang tersisa, kemudian kembali ke rumah dan menulis sampai penghujung malam tiba.
Kita berencana mengisi kitchen set dengan kompor elektrik dan instalasi listrik yang baru. Demi membayar itu, satu draft novelku dan 3 tulisan opini untuk surat kabar yang kau tulis harus selesai tepat waktu.
Anehnya, kita akan merasa punya tenaga lebih untuk menjalani semuanya. Kini kau memilikiku, yang harus kau “nafkahi” demi memuaskan egomu sebagai lelaki. Aku pun merasa perlu bekerja lebih giat lagi, sebab apa yang lebih menyenangkan dari meringankan beban orang yang dicintai?
Bersisian, jelas hidup tak akan serta merta jadi lebih mudah dihadapi. Tapi perasaan tak lagi sendiri jadi amunisi kuat bagi kaki yang harus terus berlari.
Di akhir hari yang panjang, kekuatan datang dari bahumu yang bisa jadi tempatku pulang. Pun lewat kebebasan memanjat dada selepas lelah menentang dunia seharian
Kita bukan dua manusia lemah yang butuh dibangkitkan semangatnya setiap waktu. Oh, dunia pun tahu bahwa sudah pernah kita jalani ujian yang lebih berat dari sekadar berani mengangkat dagu.
Tapi hati yang terisi memang membuat kita lebih berani. Dengan tangan yang bisa digenggam di sisi, masalah sekuat apapun akan terasa lebih ringan dihadapi. Selepas hari panjang, bahumu jadi tempat ternyamanku untuk pulang. Tulang belikatmu menawarkan ketenangan yang bahkan bertenggak-tenggak bir tak mampu tawarkan.
Bagimu, dadaku juga sudah kusiapkan sebagai tanah paling lapang. Kau bebas melakukan apa saja di sana. Memanjatnya, bersembunyi di baliknya, hingga merebahkan kepalamu lama. Di luar sana kau boleh jadi lelaki vokal yang bersuara keras untuk menentang apa saja. Di hadapanku, kau tak perlu keras berusaha. Pulanglah, pejamkan mata, nikmati setiap inci tubuhku sepuasnya.
Di tengah begitu banyak ketidakmungkinan yang ditawarkan dunia — kali ini aku tulus memanjat doa: “Semoga memang kamulah orangnya”
Hidup tak akan berubah 180 derajat selepas kita bersama. Kita bisa saja banyak bertengkar, bersisian pendapat, harus jatuh bangun sampai melunasi impian yang selama ini sudah dicanangkan. Manisnya hidup selaps bersama bisa saja baru terasa setelah hitungan tahun bersama.
Tapi bukankah itu yang menyenangkan dari kita? Di tengah segala ketidakmungkinan, kau dan aku akan keras mengangkat lengan demi mewujudkan harapan.
Aku hanya ingin menikahimu, jika itu tanpa dosa. Menikah, jadi tua bersama, menjadi sepasang manusia yang biasa-biasa saja. Bahagia? Belum tentu juga. Terkadang kamu tidak perlu tanda centang di berbagai alasan untuk berani menikahi seseorang, ‘kan?
Semoga akan ada banyak senja yang bisa kita bagi berdua. Semoga gagasan-gagasan idealis kita bisa disatukan dalam percakapan di atas bantal yang sama. Semoga akan ada mulut-mulut baru yang menyusu dari payudaraku dan makan lewat hasil keringatmu. Semoga, dunia cukup berbesar hati untuk memberi ruang pada kita.
Dalam segala kesemogaan, kuharap memang kamulah orangnya.
sumber
0 komentar:
Post a Comment