photo w_zpsnnzicugf.png
Sunday, 15 February 2015

Saat IPK-mu Tak Sesuai Ekspektasi, Sebenarnya Tak Ada yang Perlu Kamu Tangisi

“Berapa IPK kamu sekarang?”
“NGGGGG…” 
“Berapa?
“Jelek, Pa.”
*Papa pun mengerutkan dahi*
IPK atau Indeks Prestasi Kumulatif kerap dianggap sebagai separuh nyawa mahasiswa (separuhnya lagi mungkin uang bulanan dari orangtua). Selain jadi bukti pada orangtua kalau kamu niat kuliah, IPK juga adalah standar persaingan prestasi antar mahasiswa dan syarat pertama yang biasa dipatok perusahaan dalam mencari karyawan. Wajar jika kamu berusaha mati-matian untuk mendapatkan IPK yang cemerlang.
Namun apa daya, setelah berusaha keras, kamu harus menghadapi kenyataan bahwa IPK-mu tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Tak jarang, ini membuatmu putus asa.
Tapi sebenarnya kamu tidak perlu merasa sial. Justru jika kamu bisa mengakali keadaan tak ideal ini, kamu bisa tumbuh menjadi mahasiswa “paket istimewa”.
Mahasiswa paket istimewa? Yup. Daripada menangisi angka IPK, lebih baik kamu memikirkan hal-hal di bawah ini saja!

1. Anggaplah kuliah itu seperti menu makan: IPK adalah nasinya, pengembangan skill dan pola pikir lauk-pauknya. Mendewakan IPK sama halnya dengan hanya memakan nasi — kamu akan kurang gizi.

Bicara tentang IPK memang selalu memberikan sensasi tersendiri bagi mahasiswa. Saat IPK naik, kamu akan girang bukan main. Saat IPK terjun bebas, kamu akan merasa kiamat sudah dekat.
Bukannya IPK itu tidak penting sama sekali, tapi tujuan kuliah bukan hanya mendapatkan IPK “dewa”. Tak kalah pentingnya dari IPK adalah soft skill serta pola pikir yang kamu dapatkan selama proses perkuliahan.
Jika kamu tak puas dengan IPK-mu yang sekarang, bisa jadi sebenarnya dalam hati kamu adalah orang yang punya ambisi. Mungkin kamu gagal mendapatkan prestasi akademik secemerlang harapan karena kamu begitu sibuk menyalurkan ambisimu di tempat-tempat lain, misalnya organisasi kampus atau komunitas hobi di kotamu. Menangisi IPK hanya akan membuatmu lupa bahwa kamu punya potensi-potensi yang tak bisa diterjemahkan ke dalam angka-angka. Cobalah tilik lebih dalam ke dirimu sendiri: bukankah dari kegiatan berorganisasimu selama ini, kamu telah menempa pola pikir dan soft skill yang dibutuhkan sebagai seorang profesional?
Dengan mengembangkan soft skill dan pengalaman, jangan heran JIKA KAMU bisa menjadi kandidat yang dicari banyak perusahaan. Di lain sisi, dengan pola pikir yang maju kamu pun bisa membuat masa depan yang cerah tanpa harus mengandalkan apa yang tertera dalam ijazah. Setiap orang pasti punya keunggulannya masing-masing. Haram hukumnya untuk cepat menyerah hanya karena IPK yang tidak summa cum laude.

2. IPK tak akan sepenuhnya menentukan masa depan. Justru, yang lebih berpengaruh adalah karakter kepemimpinan seseorang.

IPK rendah bisa terasa seperti mimpi buruk yang bikin tidur jadi tak nyaman. Bahkan mungkin kamu merasa putus asa saat IPK-mu terancam terjun bebas. Sayang, alih-alih memperbaiki sistem belajar, kamu malah tidak melakukan apa-apa karena terlalu khawatir akan IPK yang pas-pasan.
Bagaimana nasib masa depanku nanti ya? Masa aku jadi pengganguran?
Hey, tenanglah. Kamu gak perlu lagi menghabiskan waktumu untuk mengkhawatirkan masa depan. Justru sekarang saatnya kamu memanfaatkan momen untuk memperbaiki sistem belajar atau mengasah kemampuan yang bisa mengantarkanmu pada kesuksesan di masa depan. Salah satunya adalah karakter kepemimpinan.
Mungkin kamu sudah mencoba belajar maksimal, namun IPK masih juga jauh dari target yang kamu inginkan. Maka gak ada salahnya kamu mulai memperhatikan potensimu yang lain, misalnya memupuk jiwa kepemimpinan yang kamu punya untuk bisa menjadi orang besar. Karena gak sedikit kok orang-orang besar justru datang dari IPK rendah yang punya jiwa kepemimpinan tinggi. Jika kamu tak mudah putus asa hanya karena IPK, siapa tahu kamu jutru bisa menjadi seperti mereka.

3. Mendapatkan IPK tak sesuai harapan akan membuatmu sadar bahwa hasil usaha tak melulu berbentuk angka. Ilmu yang bermanfaat adalah hal utama, dan toh kamu sudah mendapatkannya.

Hidup memang kadang menyajikan berbagai kejutan yang tidak terduga, gak terkecuali tentang perkuliahan. Saat 4 tahun kamu sudah berusaha mati-matian untuk mendapatkan predikat cum laude, eh ternyata kenyataan menawarkan cerita yang lain. Nilai IPK yang tercantum di ijazah berbeda dari ekspektasimu sebelumnya. Gak jarang hal ini membuatmu merasa kecil hati untuk bermimpi tinggi.
Tanpa harus mengutuki diri sendiri, gak ada salahnya kamu mulai memandang IPK minim dari perspektif yang lain. Hasil dari proses belajar tak harus selalu diwujudkan dalam bentuk angka. Yang lebih penting adalah seberapa luas gudang ilmu yang kamu punya, dan seberapa mampu kamu memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat. Misalnya, mungkin kamu gagal mendapatkan nilai A dalam ujian kimia lanjut, tapi mungkin saja kamu justru berhasil mengaplikasikan reaksi kimia sederhana untuk menciptakan suatu barang yang punya nilai jual. Kalau sudah begini, apa IPK masih mau kamu tangisi?

4. Tidak dapat dipungkiri, orangtuamu akan bangga jika kamu punya IPK tinggi. Namun menganggap bahwa hanya itu saja yang bisa membanggakan mereka pun sempit sekali.

Selain menjadi penentu eksistensimu sebagai mahasiswa, IPK juga gak jarang bisa menjadi penentu kebahagian orangtua. Sampai-sampai kamu harus membiasakan diri dengan pertanyaan “IPK-mu sekarang berapa?”. Karena harapan mereka hanyalah kamu bisa membawa pulang angka IPK yang tinggi sebagai bukti anaknya benar-benar kuliah dengan baik. Jadi kamu pasti akan merasa tak enak hati saat harus memberi hadiah orangtuamu dengan IPK yang pas-pasan.
Tenanglah. Mungkin orangtuamu belum bisa merasa bangga dengan IPK-mu yang sekarang. Tap pastikan kamu punya bekal lain yang bisa diandalkan, yaitu pengalaman. Mungkin kamu gak bisa membawa sederetan nilai A di transkrip, tapi kamu punya seabrek pengalaman luar biasa yang gak banyak mahasiswa lain dapatkan. Bisa saja bukan, kamu seorang aktivis organisasi atau sudah sering ikut diskusi politik ke luar negeri? Intinya, kamu masih bisa mengandalkan banyak hal untuk membuat orangtuamu bangga nantinya.

5. Naif jika bilang IPK tidak penting sama sekali. Tapi, naif juga menggantungkan masa depanmu pada angka-angka mati.

Rasanya naif sekali jika aku bilang IPK tidak penting. Tak dapat dipungkiri, IPK tinggi bisa melancarkan seleksi berkasmu saat melamar pekerjaan. Nilai IPK yang cemerlang juga bisa sangat membantumu saat seleksi berkas beasiswa. Tapi, naif juga jika kamu bilang bahwa IPK adalah segalanya.
Setelah seleksi berkas tahap pertama, perusahaan akan berusaha menggali dari dirimu kualitas yang lebih dari angka-angka yang tertera di ijazah dan transkripmu. Itulah mengapa saat wawancara kerja kamu akan ditanyakan seberapa mudah kamu bekerjasama, apakah kamu mampu bertanggung jawab dan amanah, serta seberapa cepat kamu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Kualitas-kualitas ini akan dibuktikan sekali lagi dalam focus group discussion. Jadi, jangan berkecil hati ketika IPK-mu tidak sempurna. Tak jarang, sebuah perusahaan akan berani memberikanmu masa uji coba jika kamu bisa membuktikan pada mereka bahwa kamu punya kualitas-kualitas yang mereka butuhkan.

6. Tak perlu mengutuki diri sendiri. Jika kamu memang masih punya waktu dan peluang, inilah saatnya mengkoreksi cara belajarmu selama ini.

Nilai IPK yang rendah bukan kiamat, karena ini bukan akhir dunia yang akan mengantarmu ke akhirat. Tanpa perlu mengutuki diri sendiri, alangkah baiknya kamu coba meluangkan waktu sendiri. Apakah ada yang salah dengan sistem belajarmu selama ini? Apakah mungkin secara gak sadar kamu menganggap enteng kuliah? atau mungkin kamu selama ini malas mengerjakan tugas? atau bahkan ini semua sudah maksimal?
Tanpa perlu merasa tak berguna, gak ada salahnya coba kamu tanyakan lagi pada diri sendiri tentang apa yang selama ini kamu cari? Nilai A? Predikat Cum Laude? Ilmu yang bermanfaat? Membangun pola pikir maju? Hanya kamu yang tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini.
Punya IPK tinggi gak perlu bikin jumawa, dan punya IPK lebih rendah bukan berarti kamu celaka. Jika kamu masih bisa memperbaikinya, cobalah sekuat tenaga untuk mengubah ya. Jika tidak bisa, menyesal juga untuk apa? Pastikan saja kamu memaksimalkan bakat-bakat di kegiatan non-akademik yang kamu suka. Karena masa depan bukan hanya dibangun oleh angka –karakter kepemimpinan, pengalaman, dan pola pikir juga sama pentingnya.


sumber

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2012 Mr. Tama All Right Reserved