photo w_zpsnnzicugf.png

Artikel Terbaru

Rss

Wednesday, 26 August 2015
Jika Hijab Adalah Perjalanan Hati, Haruskah Kita Mengomentari Mereka yang Rambutnya Belum Ditutupi?

Jika Hijab Adalah Perjalanan Hati, Haruskah Kita Mengomentari Mereka yang Rambutnya Belum Ditutupi?

“Kok belum pakai hijab sih kamu?”

“Hijab kayak gitu cuma fokus nutup kepala aja. Aurat lain masih diperlihatkan. Akhirnya kayak lontong! Kapan mau pakai hijab syar’i?”

Dalam kehidupan perkawanan sehari-hari, pertanyaan macam ini kerap menghampiri cewek-cewek dalam berbagai situasi. Mulai disampaikan dengan nada kasual, sampai ditanyakan dengan intonasi yang menunjukkan rasa ingin tahu tingkat tinggi.

Terkadang jadi serba salah rasanya. Belum pakai hijab, ditanya kapan akan mulai mencoba menggunakan. Sudah pakai hijab, masih juga ditanya kapan akan jadi “sempurna.”

Jika memang hijab adalah perjalanan hati — haruskah ada komentar-komentar menyudutkan macam ini?


Selalu ada cerita di balik keputusan menutup kepala atau membiarkan rambut tergerai seperti biasa. Seperti banyak perjalanan hidup lainnya — ia tak bisa disamaratakan begitu saja


Seorang kawan bercerita keputusannya berhijab muncul setelah putus dari hubungan pacaran yang sudah dijalani sekian lama. Patah hati akut membuatnya mencari pegangan kuat, Ia pun kembali mendekat. Kandasnya hubungan itu membuatnya yakin, bahwa tidak pacaran adalah cara terbaik demi menjaga hati. Mulai saat itu, ia ingin mengubah diri dengan mengenakan hijab – juga mulai menggunakan kaus kaki.

Di lain sisi, ada pula seorang rekan baik yang memutuskan melepas hijabnya yang mulai dikenakan sejak SMP. Bukan karena ia merasa jauh dari Tuhan, ujarnya. Justru keputusan ini diambil karena ia tak ingin didefinisikan oleh apa yang dikenakannya.

“Bukankah sudah pada hakikatnya, apapun yang tertempel di tubuhku, penghargaan dari lawan jenis tetap kudapatkan? Aku ingin dihargai sebagai manusia. Bukan karena mereka melihatku dari apa yang kukenakan di kepala.” 

Seandainya saja ada waktu dan kesempatan untuk mendengarkan cerita dari seluruh gadis di penjuru dunia — akan ada jutaan kisah yang terbongkar di baliknya. Mereka tidak berangkat dari semangat dan garis start yang sama. Jika begini, haruskah kita membuatnya sama rata?


Kewajiban saling mengingatkan dalam kebaikan memang nyata adanya. Namun bukankah lebih mesra jika pengingat ini tak perlu dikabarkan pada dunia dan justru diungkapkan saat berdua saja?


Punya rekan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan memang jadi keindahan berjalan bersama dalam sebuah keyakinan. Dalam ikatan yang hangat ini kamu tak akan merasa sendirian. Akan ada kawan-kawan baik yang jadi penjaga, agar perilakumu tak keluar dari yang sudah tergariskan dalam sistem nilai yang diyakini bersama.

Sebagai sahabat yang menuju ke goal besar yang sama, rasa ingin “meluruskan” kerap gatal ingin dibicarakan. Terutama saat kita tahu bahwa ada hal yang lebih baik yang bisa diusahakan. Beberapa kawan bahkan bicara dengan analogi yang sangat manis,

“Aku gak mau ke surga sendirian. Kita harus jadi sahabat sampai surga.”

Tak ada yang salah dengan keinginan tulus ini. Meyakini sesuatu memang seharusnya membuat kita jadi makhluk yang bertumbuh, lebih dari sekadar mencukupi kebutuhan diri sendiri. Tapi bukankah ini bukan cuma soal baik-benar, surga-neraka — tapi juga soal hati?

Bisa saja kawan yang di- tag masal dengan foto ajakan “Ayo berhijab” memiliki alasannya sendiri kenapa langkah besar itu belum juga dilakoni. Mungkin saja buatnya saat ini penutup kepala bukanlah cara memperjuangkan apa yang diyakini. Ia yang sampai sekarang masih santai pakai jeans tanpa kaus kaki juga tentu punya alasannya sendiri.

“Tapi gimana dong kalau mereka belum tahu? Ada kewajiban ‘kan untuk mengingatkan?”

Saat sepakat bahwa hijab adalah perjalanan hati, maka premis menjaga hati juga pasti kita yakini. Mengingatkan dan memberi komentar di khalayak adalah dua hal yang berbeda. Apakah tidak lebih manis jika pengingat itu disampaikan berdua saja? Dalam balutan perhatian dan kehangatan antara sahabat yang tujuan akhirnya sama?


Reaksi macam, “What is the right way? Bring me to it!” justru makin membuat antipati. Memilih perjalanan hati yang mengarah ke keputusan berhijab tak seharusnya membuat kita jadi polisi


Saat melakukan wawancara untuk artikel soal keperawanan ini, saya menyadari satu hal: niat baik tak selalu bisa diterima baik. Alih-alih mendapat pencerahan, bisa jadi lawan bicara justru merasa diceramahi ahli yang surga yang juga belum tentu bisa masuk surga.

“Kayak udah pada masuk surga aja semuanya. Kembalilah ke jalan yang benar. What is the right way? Come on, take me to it!”

Adalah ungkapan salah satu narasumber yang merasa sering diceramahi selepas ia memutuskan terbuka soal seksualitasnya pada khalayak.

“Sometimes their attitude is not in line with their religiousity, not in-line with what they believe in, not in-line with what they’ve been doing. And I thinkthat’s the thing you should work on first.“

Jadi komentar lanjutan bagaimana gemasnya korban-korban komen ini pada si pemberi komentar yang nampak relijius, padahal melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai relijiusitasnya,

Artikel dari sebuah situs feminis yang sempat viral bulan lalu ini juga mengungkapkan bagaimana tidak nyamannya mereka yang dikomentari. Di mata mereka yang ringan mendapat masukan belum juga berhijab dan masih belum syar’i itu bisa jadi kita dianggap tak lebih dari polisi moral. Mencari kesalahan, hobi mengingatkan, padahal perilaku sehari-hari juga masih jauh dari kesempurnaan.

Jika sudah begini, apakah niat baik itu akan bisa tersampaikan? Atau justru rekan-rekan seperjuangan akan makin menjauh karena merasa tidak nyaman?


Kenapa tak membiarkan mereka menutaskan perjalanan hati yang sedang dijalani? Bukankah kita sudah mengerti: perjalanan ini adalah soal hati. Tak akan berubah keputusan hanya karena suara di kanan kiri


Hanya karena hijab di atas kepala sebenarnya tak lantas membuat kita lebih baik dari gadis-gadis lain di luar sana. Baik mereka yang tidak berhijab, atau mereka yang sudah berhijab namun belum menemukan momen yang membuat mereka ikhlas menjulurkan penutup kepala sampai ke dada.

Kita, masih tetap manusia biasa.

Syar’i dan belum syar’i; benar pun tidak benar sebenarnya juga bukan ukuran manusia. Kita-kita saja yang kadang butuh diyakinkan bahwa saat ini sedang berjalan di atas track yang aman. Hingga mudah menyalahkan mereka yang terlihat melakoni praktik berbeda dari yang sudah dijalankan.

Memilih untuk berhijab jelas sebuah perjalanan hati. Memilih untuk tidak berhijab juga merupakan perjalanan hati yang patut dihargai. Meski banyak pendapat dari kanan-kiri, toh pada akhirnya keputusan akan datang dari suara paling dalam di dalam diri. Komentar-komentar tak penting pada satu titik tak akan valid lagi.



Jika sudah begini, apakah kita akan tetap ringan mengomentari mereka yang rambut dan jilbabnya masih belum sesempurna yang kita yakini? Ataukah ada cara lain yang lebih menyejukkan hati dibanding komentar-komentar yang sudah diungkapkan selama ini?


Saturday, 22 August 2015
[Komik] Golongan Darah - Salah Berkata-Kata

[Komik] Golongan Darah - Salah Berkata-Kata

Sebagai manusia, berinteraksi dengan sesama merupakan suatu kebutuhan yang paling mutlak. Tidak ada satupun manusia yang sanggup menjalani hidup tanpa berinteraksi maupun bantuan orang lain. Salah satu cara berinteraksi adalah dengan berbicara kepada orang lain yaiyalahhhhh emang situ pikir zaman batu masih pakai isyarat Haaha. Tetapi kadang kalah perkataan kita menyakiti perasaan orang lain baik itu kita sadari maupun tidak. Komik kali ini akan menceritakan tentang para goldar ketika salah berkata-kata kepada orang lain. Penasaran dengan bagaimana sikap para goldar ketika salah berkata ? Simak saja komiknya dibawah ini :D





Sunday, 16 August 2015
Tentang Kamu dan Harapan-harapan yang Berhenti Saya Panjatkan

Tentang Kamu dan Harapan-harapan yang Berhenti Saya Panjatkan

Kamu mengajari saya banyak hal. Karenamu saya pernah jadi hamba keras kepala yang bersujud lalu meneteskan air mata di ujung-ujung doa. Kamu pula yang membuat saya belajar menerima segala keputusanNya tanpa banyak bertanya. Di sisimu sekian lama menempa saya belajar untuk jadi pribadi yang percaya.

Tapi satu yang paling saya syukuri dari semuanya. Pertemuan denganmu membuat saya berhadapan langsung dengan kelapangan hati dan keberanian baru. Kamu, membuat saya tahu batas dalam meminta hal-hal besar pada Tuhan. Kamu, menempa saya jadi hamba yang tahu kapan doanya harus berhenti dipanjatkan.


Sejak bersamamu saya tidak lagi mudah menyalahkan Tuhan. Toh sesungguhnya kita punya hak untuk memutuskan lepas dari status pesakitan


Kamu sempat menyakiti saya habis-habisan. Di lentiknya jarimu pernah saya selipkan hati dalam jangka waktu panjang — kemudian dengan enteng saja kamu goyang kencang sampai ia merasa gamang. Kamu sempat membuat saya bertanya tentang kemampuan diri untuk mencukupi dia yang dicintai. Saya pernah merasa tak akan pernah cukup di matamu, pasti akan ada orang lain yang kamu gaet demi menutupi lubang itu.

Dalam bebeberapa saat saya sempat percaya bahwa ini jalan Tuhan. Ada keyakinan besar bahwa Tuhan pasti menempatkan saya di sini karena suatu alasan. Saya hanya punya pilihan untuk bersabar dan bertahan — dan hal itu kemudian saya lakukan.

Tapi memang tidak enak rasanya hidup sebagai pesakitan. Saya menangis hampir di setiap akhir malam. Tidak bisa lepas darimu membuat saya berusaha melebarkan batas sabar. Hanya untuk kembali merasa tertusuk tajam dari belakang. Kemudian saya sampai di satu titik, “Persetan!” saya yakin Tuhan tidak ingin saya meringkuk menahan sakit sepanjang malam. Meski masih bisa dijalani, kamu akhirnya saya tinggalkan. Dan buktinya hidup terus berjalan.


Kamu membuat saya sadar Tuhan tak hanya ingin menguji kesabaran. Ia pun berharap kita cukup bijak memilih arah yang harus diperjuangkan


Ijinkan saya sombong sedikit. Ujian kesabaran selama mendampingimu sudah berhasil menciptakan ruang lapang baru di ujung hati saya. Sekarang kamu bisa bebas melakukan apa saja di sana saking luasnya, bahkan kamu bisa membawa sepatu lalu bermain bola.

Ada hikmah besar dari pertemuan kita. Tiap pertemuan ternyata membentuk kita jadi pribadi yang lebih besar. Beberapa lama ada di sisimu membuat saya jadi pribadi yang lebih pasrah, lebih tenang, lebih sabar — namun juga dididik dalam waktu bersamaan untuk berani mengambil keputusan.

Tuhan bukan guru jaman dahulu kala yang ingin kita hanya mencatat apa yang ditulisNya ‘kan?

Tentu Ialah yang paling bijaksana dalam mengambil seluruh keputusan. Titah dan hal-hal yang ia gariskan memang pasti membawa pada kebaikan. Tapi bukan berarti kita hanya harus duduk diam lalu pasrah tanpa berjuang. Sebab Ia pun ingin kita mengerti bahwa kita cukup berharga untuk mengambil langkah yang paling membawa kemanfaatan.


Harapan tentangmu sudah berhenti saya panjatkan. Bukan, bukan karena tidak lagi percaya pada kemurahan Tuhan. Mencukupkan harapan, ternyata jadi bentuk lain dari sebuah kekuatan


Mudah saja untuk terus berharap. Lebih enteng pula rasanya jika kita terus-terusan meminta Ia memutuskan apa yang menurutNya terbaik bagi kita. Tapi seperti sudah kubilang sebelumnya, kamu dan seluruh perilakumu membuka mata bahwa kita bisa turut ambil bagian dalam menentukan nasib sebagai manusia.

Kamu adalah harapan yang berhenti saya panjatkan. Kamu adalah doa yang saya akhiri rapalnya sebelum mendapatkan jawaban. Dan untuk itu, tidak ada penyesalan.

Dari kamu saya mengerti bahwa mencukupkan harapan sebenarnya justru jauh dari rasa tidak percaya Tuhan. Mencukupkan harapan malah jadi bukti bahwa kita telah cukup bijak mendengar suara hati sendiri. Telah tertempa sebagai hamba yang mengerti apa yang paling baik untuk dijalani. Belajar berpasrah padaNya, namun juga tak melulu menyalahkanNya jika ada sesuatu yang tak pas di hati.


Sebab itu saya memilih pergi. Mencukupkan harapan atasmu yang menyakiti selama ini. Dan saya pun yakin,Dia pasti tersenyum atas keputusan ini.


Friday, 7 August 2015
[Komik] Golongan Darah - Posisi Yang Disukai

[Komik] Golongan Darah - Posisi Yang Disukai

Beda sifat, beda kelakuan, beda cara berkendara, dan tentunya beda kriteria pacar idaman. Komik kali ini masih akan menjelaskan perbedaan masing-masing goldar, yaitu perbedaan posisi yang disukai ketika berkumpul. Tanpa harus panjang lebar kali tinggi kali sisi, langsung saja sobat simak komiknya dibawah ini 










Copyright © 2012 Mr. Tama All Right Reserved